Penyebab kegagalan program penanggulangan kemiskinan.
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan
kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-
program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran
bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat
miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya
seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat
bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan
pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin.
Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk
menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan
penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial
ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut
langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),
seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah
menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat
kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program
penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang
penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada
tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara
lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan
untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro
hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro
hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan
perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada
keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan
informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan
kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak
wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat
budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak
realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal
(pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di
Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam
menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang
sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan
BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga
prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama
mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam
menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran
rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka
BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum
sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan
penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan
karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target
sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu
rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin,
diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal,
bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha
mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain
data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga
miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan
Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator-
indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di
samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan
penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak
dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem
sosial yang spesifik-lokal
Analisis:
Kegagalan program penanggulangan kemiskinan dikarenakan
selama ini program yang sudah berjalan cenderung berfokus pada upaya penyaluran
bantuan sosial untuk orang miskin bukan suatu program untuk pemberdayaan,
bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program bantuan untuk orang miskin
seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan
mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut
langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),
dibebaskannya biaya sekolah, serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di
pusat kesehatan masyarakat (puskesmas)
http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=114:mengapa-kemiskinan-di-indonesia-menjadi-masalah-berkelanjutan&catid=37:ekonomi&Itemid=93
Tanggal Pengutipan: 27-10-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar