JUDUL :
HUKUM PERJANJIAN
NAMA :
NEYLA ULFAH
NPM :
25211140
PENDAHULUAN
Disetiap kelompok atau perkumpulan
baik kecil atau besar, mempunyai suatu hukum atau aturan yang dibuat oleh
kelompok atau perkempulan tersebut. Akan tetapi, apakah seseorang itu mengerti
dan paham tentang hukum tersebut.
Hukum adalah sebuah system yang
menetapkan suatu tingkah laku yang diperolehkan, yang dilarang atau yang harus
dikerjakan. Selain itu sbuah hukum dapat menjadi norma yang memilih sutu
peristiwa atau kenyataan menjadi sebuah peristwa yang memiliki akibat hukum.
Negara Indonesia adalah Negara hukum,
Negara hukum adalah Negara yang berdiri atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya yang mana keadilan tersebut merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup warga negara agar dapat membuat warga Negara
suatu bangsa menjadi baik.
Negara hukum bersandar pada keyainan bahwa
kekuasaan Negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Hukum
menjadi landasan tindakan setiap Negara. Negara hukum berarti alat-alat Negara
mempergunakan kekuasaannya hanya sejauh berdasarkan ukum yang berlaku dan
dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu.
Banyak sekali macam macam Hukum yang ada di
Indonesia, hukum yang berlaku dimasyarakat ini dibagi menjadi beberapa bagian
1. Hukum Pidana atau Hukum Public
2. Hukum Perdata atau Hukum Pribadi
3. Hukum Acara
4. Hukum Perikatan
5. Hukum Perjanjian
6. Hukum Dagang dll
·
Latar
Belakang
Banyak sekali Hukum-hukum yang berlaku di
Indonesia. Akan tetapi tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui
hukum-hukum tersebut. Senghingg apabila terjadi penyalahgunaan hukum,
masyarakat awam tidak mendapat hukum yang jelas. Seharusnya hukum yang Bberlaku
di Indonesia diketahui dan dipahami oleh masyarakat sehingga semua peraturan
yang berlaku dapat dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Yang akan dibahas dalam tulisan ini hanya
Hukum Perjanjian saja, dimana arti perjanjian tersebut Menurut Pasal
1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut
Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perjanjian dibuat untuk meyakini dan memberi
kepastian kedua belah pihak, sebaiknya perjanjian yang bersifat universal dan
menyangkut orang banyak harus dilandasi dengan dasar hukum agar tidak merugikan
satu pihak, bilamana pihak lain melanggar janji yang telah disepakati. Jika
perjanjian telah berlandaskan hukum
yaitu Hukum Perjanjian, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut kepada
pihak yang telah melanggar.
Sebelum kita membuat Hukum Perjanjian, ada
baiknya kita memahami Hukum Perjanjian terlebih dahulu, apa itu hukum
perjanjian, seperti apa prosesnya, dan jenis hukum perjanjian yang kita
butuhkan, beserta syarat syarat yang hatus dipenuhi untuk dapat memenuhi hukum
perjanjian tersebut.
·
Kerangka
Pemikiran
PEMBAHASAN
·
Pengertian
Hukum Perjanjian
Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda),
contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah
yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya
dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama,
sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara
bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum. Namun para ahli hukum
mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian,
1.
Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa
perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
2.
J.Satrio berpendapat perjanjian dapat
mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu
perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang
dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin,
dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada
hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja.
3.
hukum lain mengemukakan bahwa suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal
yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
4.
Menurut
Rutten.Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan
formalitas-formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari
persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain
atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
Hukum Perjanjian sering diartikan sama dengan
hukum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan devinisi pada kata
perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam
sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat
dua pihak yang saling berjanji satu sama lai untuk melakukan sesuatu hal.
Sedangkan hukum perikatan dilakukan
apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak
dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan tuntutan atau
memenuhi tuntutan tersebut.Berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita tarik
kesimpulan bahwa hukum perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan. Artinya
tidak aka nada kesepakatan yang mengikat seseorang, jika tidak ada perjanjian
tertentu yang disepakati oleh masing-masing pihak. Jadi, perikatan merupakan
konsekuensi logis adanya perjanjian.
·
Asas-asas
Hukum perjanjian
Asas hukum yang
dikemukakan diatas adalah asas hukum yang berlaku secara umum. Berbeda halnya
dengan asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian (overeenscomstrecht)
diantaranya:
1. Asas Konsensuil
Konsensuil secara sederhana diartikan sebagai
kesepakatan. Dengan tercapainya kesepakatan antara para pihak lahirlah kontrak,
meskipun kontrak pada saat itu belum dilaksanakan. Hal ini berarti juga bahwa
dengan tercapinya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi
mereka yang membuatnya (atau dengan kata lain perjanjian itu bersifat
obligatoir). Asas konsensuil dapat dilihat pada Pasal 1320 ayat 1 BW bahwa
salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah
pihak.
Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau
terbentuk ketika para pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok
perjanjian. Walupun kadang Undang-Undang menetapkan bahwa sahnya suatu
perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau
harus dibuat dengan akta oleh pejabat berenang (seperti akta jual beli tanah)
semua ini merupakan pengecualian.
Bentuk konsensuil adalah suatu perjanjian yang
dibuat secara tertulis, salah satunya dengan adanya pembubuhan tandatangan dari
para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Tandatangan berfungsi sebagai
bentuk kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat dan waktu, dan isi
perjanjian yang dibuat.
2. Asas
Pacta Sunt Servanda (Perjanjian Itu Mengikat Para Pihak)
Asas pacta sunt servanda biasa juga disebut asas kepastian
hukum (certainty). Asas ini bertujuan agar hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat
disimpulkan diambil dari Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan “perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”
3. Asas Kebebasan
Berkontrak
Kebebasan
berkontrak adalah kebebasan untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja,
selama tidak bertentangan tentang Undang-undang, keterlibatan umum dan
kesusilaan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Pasal ini menuntun kita untuk dapat membuat perjanjian mengenai hal
apa pun,diatur secara apa saja dan perjanjian tersebut akan mengikat
sebagaimana hal terikatnya kita kepada Undang-undang. Sekali lagi ditekankan
bahwa kebebasan untuk membuat perjanjian hanya dibatasi dengan Undang-Undang
ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal 1338 ayat 1 BW
perihal asas kebebasan berkontrak. Kebebasan yang dimaksud di sini terbagi
dalam beberapa hal yakni:
1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian
atau tidak (yes or no).
2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan
perjanjian (who).
3. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian
(substance).
4. Bebas menentukan bentuk perjanjian (form)
5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang bertentanga dengan
peraturan perundang-undangan (other freedom).
4.
Asas Iktikad Baik (geode trouw)
Asas itikad baik merupakan salah satu sandi
penting dalam hukum perjanjian. Artinya dalam pembuatan dan pelaksanaan
perjanjian harus tidak merugikan satu sama lain dan harus mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Apabila kemudian hari ditemukan
pelaksanaan perjanjianyang merugikan salah satu pihak, misalnya salah satu
pihak wanprestasi, maka pihak yang melakukan hal tersebut telah melanggar asas
itikad baik.
Asas iktikad baik diakomodasi melalui Pasal
1338 ayat 3 BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad
baik.” Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Kesepakatan atau consensus
sebagai syarat utama lahirnya kontrak, masih ada hal lain yang harus
diperhatikan yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana ditegaskan dalam pasal
1320 BW yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Sutu hal tertentu;
4. dan sebab yang halal
5.
Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servada)
Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya
perjanjian. Pasal 113 ayat 1 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai Undang- undang bagi pihak yang membuatnya.
Perjanjian yang dibuat secara sah artinya telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian, sehingga mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku sebagai
Undang-Undang bagi pihak yang membuatnya. Mengikat sebagai Undang-undang
mempunyai makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian wajib menaati
perjanjian sebagai mana mereka menaati Undang-undang. Dan pihak ketiga,
termasuk hakim wajib menghormati perjanjian tersbut, juga tidak mencampuri isi
perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak. Tidak mencampuri isi hukum
perjanjian, artinya pihak ketiga tidak boleh menambah atau mengurangi isi
perjanjian dan tidak menghilangkan kewajiban-kewajiban kontraktual yang timbul
dan perjanjian tersebut.
Karena para pihak wajib menaati isi
perjanjian yang mereka buat, akibatnya perjanjian tersebut tidak dapat ditarik
secara sepihak. Jika kan ditarik kembali, arus dengan kesepakatan para pihak
atau dengan alasan Undan-Undnang yang menyatakan cukup untuk itu. Asas
kepastian hukum akan dapat dipertahankan sepenuhnya, jika para pihak dalam
perjanjian, kedudukannya seimbang dan para pihak sama-sama cakap untuk
melakukan perbuatan hukum.
6.
Asas kepribadian
Asas kepribadian adalah asas yang
menentukan ketika seseorang membuat perjanjian dangan orang lain, maka yang
terikat dalam perjanjian tersebut hanyalah para pihak yang membuatnya saja.
Pihak ketidak tidak akan terikat dalam perjanjian tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata
menyatakan pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perjanjian untuk
dirinya sendiri. Hal ini dipertegas dengan Pasal 1340 ayat 1 KUH Perdata yang
berbunyi bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya.
Tetapi asas ini mempunyai pengecualian
sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi: “Dapat
juga perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjia
yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain
mengandung suatu syarat semacam itu. Dalam Pasal 1317 terdapa janji terhadap
pihak ketiga atau janji untuk kepentingan pihak ketiga. Contohnya dalam
perjanjian asuransi jiwa, ada dua orang berjanji, akan tetapi perjanjian itu
disepakati untuk menimbulkan keuntunga bagi pihak ketiga.
·
Syarat
Sah Hukum Perjanjian
1.
Syarat pertama merupakan awal dari
terbentuknya perjanjian, yaitu terdapat kesepkatan antar dua pihak. Kesepakatan
ini dibuat dengan kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak
manapun, sehingga kedua belah pihak dapat menunaikan kewajiban dan hak sesuai
dengan kesepakatan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya
paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2. Kedua belah pihak mampu membuat sebuah
perjanjian. Artinya kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak dalam
pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan perjanjian tersebut.
3. Perjanjian tersebut merupakan objek yang jelas
dan dapat dipertanggung jawabkan.
4.
Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan. Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara
hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di
dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada
dibawah pengampunan.
5.
Mengenai suatu hal tertentu suatu hal
yang dijadikan perjanjian. Artinya, Secara yuridis suatu perjanjian harus
mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah
objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek
tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan
dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
6. Hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang
benar. Artinya perjanjian yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah
pihak dan bukan ditujukan untuk kejahatan.
7.
Suatu sebab yang halal. Setiap
perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab
dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat
pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang
atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar,
maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan
keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi
perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu
perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat
dijalankan.
·
Jenis-jenis
Perjanjian
Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir
Perjanjian obligatorir è Perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk
menyerahkan atau membayar sesuatu
Perjanjian non obligatoir è Perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang
untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.
1. Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa
jenis
a.
Perjanjian
sepihak è Perjanjian yang membebankan prestasi (denda)
hanya pada satu pihak .
Misalnya
perjanjian hibah, perjanjian penanggungan (brogotch), dan perjanjian memberikan
kuasa tanpa upah
b. Perjanjian timbale balik è Perjanjian yang membebankan prestasi pada
kedua belah pihak. Misalnya jual beli.
c. Perjanjian Cuma-cuma è Dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya.
Misalnya hibah, perjanjian pakai, pinjam meminjam tanpa bunga dan penitipan
barang tanpa biaya.
d.
Perjanjian
atas beban è Perjanjian yang mewajibkan salah satu pihak
untuk melakukan prestasiberkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan
oleh pihak lain. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan
bunga.
e. Perjanjian konsensuil è Perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli dan sewa
menyewa.
f.
Perjanjian
riil è Perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan
kesepakatan namun juga mensyaratkan penyerahan obyek perjanjian atau bendanya.
Misalnya perjanjian penitipan barang dan perjnjian pinjam pakai.
g. Perjanjian formilèPerjanjian yang selain dibutuhkan kata
sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Misalnya pembebanan jaminan fidusia.
h.
Perjanjian
bernamaè Perjanjian yang secara khusus diatur didalam
undang-undang.
i.
Perjanjian
tak bernamaèPerjanjian yang tidak diatur secara khusus
didalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, franchising dan factoring.
j.
Perjanjian
campuranè Perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua
atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang
merupakan campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk melakukan
suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju, dan membersihkan kamar)
2. Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi:
a
Zekelijk
overeenkomstèPerjanjian yang menetapkan dipindahkannya
suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah.
b
Bevifs overeenkomstè Perjanjian untuk membuktikan sesuatu
c
Liberaator
overeenkomstèPerjanjian dimana seseorang membebaskan pihak
lain dari suatu kewajiban
d
Vaststelling
overeenkomst è Perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai
isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.
·
Fungsi
hukum perjanjian
Fungsi perjanjian
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi yurudis dan fungsi ekonomis.
Fungsi yurudis perjanjian adalah dapat memberikan kepastian hukum para pihak,
sedangkan fungsi ekonomis adalah menggerakkan (hak milik) sumber daya dari
nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi. Biaya dalam
Pembuatan Perjanjian Biaya penelitian, meliputi biaya penentuan hak milik yang
mana yang diinginkan dan biaya penentuan bernegosiasi, Biaya negosiasi,
meliputi biaya persiapan, biaya penulisan kontrak, dan biaya tawar-menawar
dalam uraian yang rinci, Biaya monitoring, yaitu biaya penyelidikan tentang
objek, Biaya pelaksanaan, meliputi biaya persidnagan dan arbitrase, Biaya
kekliruan hukum, yang merupakan biaya sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar